"…. Jadikanlah Kota Palangka Raya sebagai Modal dan Model… Jangan Membangun Bangunan Di sepanjang Tepi Sungai Kahayan, Dan
Lahan di Sepanjang Tepi Sungai tersebut, hendaknya diperuntukkan bagi
taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu
indah pada saat orang melewati sungai tersebut ...” (Soekarno, 1957)
Setelah membaca tuntas buku karya Wijanarka dalam “Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya”,
saya sangat terkesima membayangkan betapa mimpi Ir. Sukarno pasca
kemerdekaan RI dalam merancang calon ibu kota negara di kota cantik
Palangkaraya ini. Siapa yang bisa membayangkan betapa kota yang sangat
sepi, minim fasilitas dan langka energi listrik ini adalah bekas kota
ambisi presiden pertama RI sebagai Ibukota Negara. Ini yang sempat
terbesit dalam pertanyaan saya mengapa Palangkaraya menjadi ibukota
Provinsi, padahal secara geografis umumnya ibukota selalu berada di
daerah pesisir. Kondisi ini sangat mungkin karena sebelumnya kota
tersebut sudah dirancang sebagai ibukota RI meski akhirnya berakhir
sebagai ibukota Provinsi.
Kota Palangkaraya secara
geografis terletak pada 6⁰40’ – 7⁰20’ Bujur Timur dan 1⁰31’ – 2⁰30’
Lintang Selatan. Saat ini secara administratif berbatasan dengan
Kabupaten Gunung Mas pada sisi utara dan timur, kabupaten Pulang Pisau
pada sisi selatan dan Kabupaten Katingan pada sisi barat. Kota
Palangkaraya mulai dibangun dengan ditandai adanya pemancangan tiang
pertama pembangunan kota oleh Presiden RI pertama pada tanggal 17 Juli
1957.
Sepertinya Palangkaraya dan Kalimantan Tengah memiliki ikatan batin yang kuat dengan Soekarno. Dalam buku Wijanarka (2006), pada tahun 1957, beliau pernah berkunjung bersama rombongan (40 orang) yang terdiri dari dua orang duta besar, menteri-menteri, dan pegawai istana. Lokasi pemancangan tiang pancang yang saat terletak diseberang gedung DPRD disyahkan oleh presiden pertama kita kala itu. Menurut Tjilik Riwut, pada bagian akhir pidato Gubernur Milono yang memimpin pada saat itu menyatakan dua keistimewaan Palangkaraya:
Pertama :
Pada symbol angka 17 dimana Provinsi Kalimantan Tengah merupakan
propinsi ke-17, dilahirkan oleh Kabinet Karya, Kabinet ke-17 dan
Pahandut kampong ke-17 dari Kuala Kapuas Ibu Kota Kabupaten Kapuas, dan
kampong yang ke-17 dari Muara Sungai Kahayan.
Kedua :
Lahirlah provinsi Kalimantan Tengah bertepatan dengan Hari Raya Idul
Fitri dan Hari Paskah. Karenanya, kata beliau tetap peliharalah
kesucian dan kemuliaan tersebut seterusnya dan janganlah nantinya
menjadi tempat perebutan pangkat dan kursi.
Sangat
tidak mengherankan bagi seorang Sukarno, lulusan insinyur tentu
memiliki ambisi tersendiri untuk menjadikan suatu kota dirancang oleh
buah pikiran putra bangsa. Setelah melihat Jakarta yang sudah terbentuk
dalam desain kolonial, maka beliau mencoba untuk mendesain sendiri
ibukota yang ada dalam angan-angannya. Dua tahun (sejak 1957-1959) kota
ini dibangun melalui rancangan pikiran Ir. Sukarno, mulai dari
bundaran besar, taman kota, tiang pancang, istana, bundaran kecil, dll.
Jika
kita berjalan-jalan dan mengamati kota Palangkaraya, sangat tampak
bahwa kota ini sudah memiliki rencana desain sebelum penduduk bermukim,
dilihat dari luas jalan yang lebar, disamping kanan dan kiri jalan
terdapat taman dan jalan pedestrian, taman di antara ruas jalan, dan
bundaran. Ditambah lagi jumlah penduduk yang tidak padat membuat sangat
nyaman berada di kota ini. Hanya sangat disayangkan, menjelang malam
kondisi kota menjadi sangat gelap. Cukup ironis, kalimantan mengalami
krisis energi di lambung sendiri, sehingga lampu-lampu disepanjang
jalan tidak mampu mempercantik kota ini, sayang sekali, keluar dari
impian Soekarno saat itu.
Cikal bakal kota Palangkaraya adalah
Pahandut, yaitu sebuah kampung yang saat ini menjadi kecamatan.
Pahandut berasal dari kata Bapa handut (bahasa dayak ngaju), yang
artinya ayah Handut. Bapa Handut adalah salah satu penduduk yang
membuka hutan belantara untuk dijadikan tempat tinggal sementara yang
bernama Kampung Pahandut. Oleh Bapa Handut, daerah tersebut ditandai
dengan Pohon Asam yang ditanamkannya dan kini letaknya disekitar
dermaga Rambang. Disebelah barat daya dari pohon asam tersebut terdapat
danau Seha. Sekarang kampong Pahandut itu berada pada lingkungan
wilayah Jl. Kalimantan, Jl. Sulawesi, Jl. Bangka, Jl. Sumatera, dll
dimana terhubung Jln. A. Yani menuju pusat Palangkaraya. Daerah tua dari kota Palangkaraya ini memang daerah yang padat
penduduknya. Di kanan kiri jalan banyak pertokoan dan jika berjalan
menelusuri wilayah jalan-jalan bernama pulau-pulau tersebut, tampak
danau Seha yang saat ini menjadi komplek danau Seha yang sudah
tertutupi oleh pemukiman-pemukiman yang lokasinya seperti mangkok yang
menjorok jauh kebawah.
Lahan disepanjang Sungai Kahayan
telah dibangun pemukiman yang sangat padat, beberapa hari yang lalu,
saat menyaksikan perlombaan perahu hias dalam Festival Isen Mulang,
saya mengitasi sungai Kahayan diwilayah Pahandut, tempat dimana pertama
kali Palangkaraya lahir. Sayangnya wilayah ini semakin padat dan kumuh
sepertinya bertentangan dengan impian Sukarno untuk tidak membangun
bangunan di sepanjang tepi sungai Kahayan dan menjadikan tempat
tersebut sebagai taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah
kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut.
Mengapa batal menjadi ibukota NKRI?
Menurut
sejarah pembangunan kota Jakarta yang resmi menjadi ibukota pada tahun
1964, masterplan pendahuluan Jakarta dibuat tahun 1956 yang mana
masterplan ini diilhami ole ide-ide Sukarno dari hasil keliling
dunianya ke India, USA, Kanada, Rusia, Italia, Jerman, Swiss, dan Cina.
Akan tetapi, karena struktur kota Jakarta telah terbentuk, ide-ide
Sukarno tersebut tidak maksimal dapat diimplementasikan (Wijanarka,
2006).
Pada saat itu, masyarakat (Kalimantan Tengah) menginginkan
terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah yang mana pada akhirnya rencana
Ibukota Kalimantan Tengah (Palangkaraya) menjadi kesempatan emas bagi
Sukarno dalam menuangkan ide-idenya. Berdasarkan pengalamannya keliling
dunia dan beberapa kota di Indonesia, pada akhirnya desain Kota
Palangkaraya yang diciptakannya dipersiapkan juga untuk ibukota RI
(Wijanarka, 2006).
Batalnya Palangkaraya menjadi ibukota RI
disebabkan oleh sulitnya pengadaan bahan bangunan dan medan yang masih
sangat sulit menuju kota Palangkaraya (saat pembangunan tahun
1957-1959), ditambah lagi tiga aspek (Wijanarka, 2006) yaitu :
- Keberadaan sejarah kota Jakarta yang sudah terbentuk komposisinya oleh pemerintah colonial akhirnya memaksa Soekarno untuk meneruskan program-program pembangunan seperti Jakarta by Pass, Jalan Tanjung Priok-Cililitan, Jalan Cawang, Lapangan Terbang Kemayoran, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional.
- Desakan para duta besar negara sahabat, Mungkin, saat peletakan tiang pancang Kota Palangkaraya, Sukarno juga mempromosikan calon ibukota RI kepada dua duta besar Negara adidaya Rusia (DA Zukov) dan Amerika (Hugh Cumming Jr) yang pada waktu itu oleh Sukarno diajak ke Palangkaraya. Mungkin pula dengan mengalami beratnya medan perjalanan ke Palangkaraya saat itu, dan mungkin adanya hasil evaluasi Sukarno tahun 1959 yang menunjukkan sulitnya pengadaan bahan bangunan dalam proses pembangunan Kota Palangkaraya, kedua duta besar yang saat itu sangat berpengaruh terhadap dunia mendesak Sukarno untuk memilih Jakarta sebagai Ibukota RI.
- Agenda RI tentang even-even internasional. Ambisi sukarno yaitu mempromosikan RI keluar negeri seperti Asian Games (1962), Ganefo dan Konferensi Wartawan Asia Afrika, maka dari itu dibangun Gelora Bung Karno, Bundaran HI, dan gedung DPR/MPR.
Palangkaraya
cenderung berada pada letak yang berada di tengah-tengah wilayah RI.
Dalam sejarahnya, berawal dari pemancangan tiang pancang untuk
pembangunan kota, maka Sukarno sudah membentuk sumbu kota yang
berfungsi sebagai prinsip dasar desain kota. Menurut arah mata angin,
dari titik tiang pancang, sumbu ini mengarah ke barat daya dan timur
laut. Kearah timur laut, sumbu ini berakhir di Sungai Kahayan, sedangkan
kea rah barat daya, sumbu ini berakhir di Jakarta. Adanya konsep ini
menunjukkan bahwa Palangkaraya termasuk cosmic city, yaitu kota yang
mengintrepetasi kepercayaan dan atau daya alam. Kini sumbu tersebut
terkoneksi erat antara Sungai Kahayan- Tiang Pancang – Bangunan istana –
Yos Sudarso – Jakarta (Wijanarka, 2006).
Cosmic City: seperti Yogyakarta
Saya
melihat cosmic city yang ada pada Palangkaraya sungguh unik seperti
filosofi kota Yogyakarta. Meskipun tidak sekuat Kraton, namun Soekarno
mendesainnya dengan pertimbangan koneksitas kepercayaan/daya alam.
Kraton sebagai pancer terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan
Laut Kidul, Parangkusumo – Panggung Krapyak – Karaton – Tugu Pal Putih
dan Gunung Merapi. Garis imajiner dari Parangkusuma di Laut selatan –
Karaton Yogyakarta- Gunung Merapi menekankan hubungan antara manusia
yang hidup di dunia dimana seorang manusia harus memahami terlebih
dahulu hakekat hidup dan kehidupannya sehingga mampu mencapai
kesempurnaan hidup.
Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam
mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai
“swarga pangrantunan”, sama dikaitkan dengan Palangkaraya dimana Sungai
Kahayan menduduki posisi yang penting bagi kebudayaan masyarakat
dayak. Pada mitologi Gunung Merapi dalam alur perjalanan hidup yang
digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang
menghubungkan Laut Kidul – Panggung krapyak – Karaton –Yogyakarta Tugu
Pal Putih – Gunung Kidul. Simbol ini mempunyai makna tentang proses
kehidupan manusia mulai dari lahir sampai menghadap kepada sang Maha
Pencipta.
Makna Bundaran besar menurut rancangan Sukarno :
Tidak
banyak yang memahami dan menyadari bahwa bundaran besar (nama popular
saat ini) yang terletak dipusat kota yang dikelilingi oleh Istana
Gubernur (lambang pemerintahan), Gedung Batang Garing (lambang bisnis)
maupun Palangkaraya Mall (sarana hiburan rakyat). Menurut Wijanarka, Di
depan istana, terdapat jalan silang 8 bundaran dengan jari-jari
bundarannya 2×45 meter. Konsep desain silang 8 bundaran ini
menyimbolkan bulan dan tahun kemerdekaan RI. Delapan jalan silang
tersebut memiliki dua makna yaitu menyimbolkan posisi Palangkaraya pada
persimpangan delapan rumpun kepulauan RI (Sumatera, Jawa, Bali,
Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Irian Jaya), dan delapan
sungai besar di Kalimantan Tengah yaitu Barito, Kapuas, Katingan,
Mentaya, Seruyan, Kahayan, Arut dan Lamandau.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar